Isu suku, agama, dan ras sekonyong-konyong muncul menjelang pelaksanaan putaran kedua pemilukada DKI Jakarta. Entah ini sistematis atau tidak, tetapi isu SARA itu dengan cepat tersebar melalui blackberry messenger (bbm) ataupun melalui milis-milis. Inti pesannya adalah meminta warga dari agama tertentu untuk memilih calon gubernur dan wakil gubernur dari agama tertentu.
Banyak pihak menyayangkan munculnya isu SARA dalam pesta rakyat untuk memilih pemimpinnya ini. Isu itu sudah tentu dikhawatirkan bisa merusak situasi pemilihan yang sudah berjalan kondusif dan konstruktif.
Seperti dipahami semua pihak, isu SARA memiliki sejarah yang hitam dalam perjalanan kehidupan berbangsa dan bernegara di negeri ini. Tak sedikit korban jiwa dan harta benda yang jatuh akibat berkembangnya isu SARA.
Tetapi sesungguhnya, masyarakat terutama warga Jakarta bukanlah masyarakat kuno yang pandir, tetapi masyarakat modern yang cerdas. Paling tidak hal ini tergambar dari hasil exit poll yang dilakukan oleh Lembaga Survey Indonesia (LSI).
Jika dilihat dari data karakteristik warga yang datang dan menggunakan hak pilihnya ke TPS, maka jumlah pemilih berdasarkan etnis cukup beragam dengan sebaran yang cukup berimbang, tentu berdasarkan jumlah total populasi etnis yang bersangkutan.
Dari data exit poll terungkap bahwa jumlah pemilih dari etnis Betawi mencapai 36,6 persen, etnis Jawa 35,1 persen, Sunda 11,3 persen, Cina 3,7 persen, sedang sisanya adalah pemilih dari etnis lain seperti Batak dan
Minang.
Dari sebaran pemilih itu pasangan Foke-Nara mendapat dukungan pemilih Betawi sebesar 48,3 persen, Jawa 21,8 persen, sunda 43,1 persen, Batak/Tapanuli 21,4 persen dan Minang 23,8 persen. Sementara pasangan Jokowi-Ahok didukung pemilih Betawi 28,1 persen, Jawa 55,9 persen, Sunda 34,5 persen, Cina 100 persen, Batak/Tapanuli 42,9 persen, dan Minang 42,9 persen.
Sedangkan menurut agamanya, pemilih Islam mencapai 89,2 persen dari total pemilih, Kristen Protestan 5,6 persen, Katolik 3,3 persen dan lainnya 2,0 persen. Namun demikian, seluruh kategori pemilih ini tersebar ke semua calon yang ada, untuk Foke-Nara didukung 35,3 pemilih Islam, 17,1 pemilih Protestan dan 15,4 pemilih Katolik. Sementara Jokowi-Ahok didukung 39,1 pemilih Islam, 77,1 pemilih Kristen dan 76,9 pemilih Katolik.
Patut dibanggakan, dan semestinya terus dikembangkan adalah alasan para pemilih menggunakan hak suaranya. Tidak ada isu SARA yang menjadi alasan kuat, melainkan isu cerdas mengenai pembangunan dan integritas calon gubernur dan wakilnya.
Dari data exit poll terlihat, alasan memilih yang paling tinggi adalah masalah program yang dijalankan atau dijanjikan paling meyakinkan, dimana pasangan Foke-Nara memperoleh dukungan 33,9 persen dan Jokowi-Ahok 36,3 persen.
Isu lain yang dijadikan alasan untuk memilih adalah siapa yang paling memperjuangkan rakyat kecil, dimana Foke-Nara mendapat dukungan 21,2 persen, sedangkan Jokowi-Ahok mendapat dukungan 38,8 persen suara.
Masih banyak alasan lain yang digunakan warga untuk memilih diantaranya soal isu bersih dari korupsi, soal bisa dipercaya antara ucapan dan perbuatannya, soal kepintaran, dan ada juga soal memperjuangkan agama namun secara prosentase tak terlalu besar porsinya.
Kalau menilik data hasil exit poll LSI ini, tentu kita tak perlu khawatir warga Jakarta akan terpengaruh isu SARA yang dihembuskan oleh pihak-pihak tertentu, yang pasti punya kepentingan tertentu pula, mungkin kepentingan politik, sosial ataupun kepentingan ekonomi.
Kecerdasan warga untuk menentukan pilihan calon pimpinannya akan membuat penggunaan isu SARA tak efektif lagi. Warga Jakarta tak akan terjebak isu yang akan menjerumuskan mereka ke dalam situasi dan kondisi yang tidak aman.
Calon atau tim sukses calon menggunakan isu SARA lebih karena kebuntuan komunikasi politik mereka dengan konstituen. Mungkin saja mereka sudah kehilangan akal untuk mengarahkan pandangan politik dengan isu-isu yang lebih cerdas dan sehat, sehingga isu sensitif itu dimunculkan.
Jakarta adalah potret mini Indonesia yang amat majemuk dari banyak hal termasuk suku, agama, dan ras. Karena itu tak ada alasan untuk mengkotak-kotakkan warga ke dalam kelompok-kelompok tertentu. Semuanya punya hak dan kewajiban untuk membangun bangsanya, dan hal itu dilindungi UUD 45.
Hak dan kewajiban itu tak terkecuali bagi warga etnis Tionghoa yang boleh dibilang baru menikmati hak-haknya dalam beberapa tahun belakangan ini. Menurut LSI, berdasarkan data Sensus Penduduk pada 2000, jumlah penduduk Tionghoa di Jakarta mencapai 460 ribu atau 5,5 persen dari total 8,3 juta penduduk Jakarta. Tentu dengan jumlah yang cukup besar dan kekuatan ekonomi yang cukup, mereka ingin punya andil atau ingin berpartisipasi dalam mengurus negara.
Kehidupan demokrasi di negeri ini barulah bertumbuh, karena itu jangan sampai dirusak dengan isu yang tidak cerdas dan tidak sehat. Isu SARA sudah menjadi catatan kelam masa lalu, jangan dibangkitkan lagi.
(catatan: hasil survey LSI diambil dari berita liputan6.com, sumber; http://politik.kompasiana.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar